Pembabakan Jaman Menurut Hasil Kebudayaan
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Waktu
(time) merupakan salah satu konsep dasar sejarah selain ruang (space),
kegiatan manusia (human activity). Perubahan (change) dan kesinambungan
(continuity). Ia merupakan unsur penting dari sejarah yaitu kejadian
masa lalu. Dengan kata lain waktu merupakan konstruksi gagasan yang
digunakan untuk memberi makna dalam kehidupan di dunia. Manusia tak
dapat dilepaskan dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan
perjalanan waktu itu sendiri. Agar
waktu dalam setiap peristiwa atau kejadian dapat dipahami, maka sejarah
membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud periodisasi ini
adalah agar babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya. Contohnya
sejarah Eropa dapat dibagi ke dalam 3 periode yaitu zaman klasik/kuno,
zaman pertengahan dan zaman modern.
Periodisasi atau pembabakan waktu sejarah Indonesia menurut Dr.
Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, dibagi
menjadi 4 periode, yaitu: zaman prasejarah, zaman kuno, zaman Islam, dan
zaman modern.
Tetapi secara graris besar periodisasi sejarah dibagi menjadi zaman prasejarah dan zaman sejarah sebagi berikut.
Dalam
mempelajari zaman prasejarah, di mana belum ditemukan bukti-bukti
tertulis, maka untuk mengetahui peristiwa atau kejadian pada masa
tersebut harus
bekerjasama dengan disiplin ilmu yang lain antara lain: Arkeologi
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lampau melalui artefak. Dari
hasil penelitian para ahli arkeologi, maka tabir kehidupan masyarakat
prasejarah Indonesia dapat diketahui. Berdasarkan penggalian arkeologi
maka prasejarah dapat dibagi menjadi 2 zaman, yaitu: zaman batu dan
zaman logam.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasakan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian, ciri-ciri, dan hasil kebudayaan dari zaman batu dan zaman logam?
2. Bagaimana bentuk hasil kebudayaan tersebut dan apa saja hasil kebudayaan dari zaman batu dan zaman logam?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Zaman Batu
Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan terutama dibuat dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman
Batu adalah pada zaman itu ,manusia masih belum mengenal peralatan yg
terbuat dari bahan lain selain batu, mulai dari kampak ,ujung
tombak,alat pemecah, atau untuk membelah semuanya di buat atau berasal
dari batu. Batu pada wkt di temukan suddh berbentuk seperti kampak,
ujung tombak ,atau di sengaja buat sedemikian rupa, sehingga berbentuk
seperti yg diinginkan, yaitu dengan menggunakan batu juga sebagai
alatnya. Karena, pada zaman itu tdk ada atau belum ditemukan logam
seperti zaman sekarang ini. Zaman batu ini dapat dibagi lagi atas:
1. Zaman Batu Tua (Palaeolithikum)
Palaeolithikum (Zaman
batu tua) adalah zaman purba yang berlangsung antara 750.000 tahun
sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai oleh pemakaian alat-alat serpih;
zaman batu tua. Disebut Zaman batu tua (palaeolitikum), sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Pada
zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam kumpulan kecil untuk
mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil
hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka
menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan
memburu. Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka.
Selain itu, mereka telah pandai menggunakan api untuk memasak,
memanaskan badan dan mengusir binatang. Apabila dilihat dari sudut mata
pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat
sederhana. Pendukung kebudayaan ini adalah Homo Erectus yang berdiri.
Masa
paling awal dari peradaban manusia ini ditandai dengan ditemukannya
fosil-fosil manusia purba yang dalam perhitungan ilmiah berusia sekitar 1
juta tahun yang lalu. Contoh manusia purba saat itu adalahPhitecantropus Erectus, yang dari bentuk ukuran tulang pahanya (femur) dapat dikategorikan sebagai homo erectus atau
manusia yang berjalan tegak. Dan alat berburunya seperti kapak genggam,
menunjukkan corak produksi manusia masa itu masih dalam masa perburuan.
Dalam masa ini manusia masih berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dalam usahanya mendapatkan binatang buruan.
Beberapa
peninggalan hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di antaranya
adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial, alat-alat serpih,
chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua sisinya.
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke dalam kebudayaan batu teras
maupun golongan flake.
Alat-alat
ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak
jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa hasil kebudayaan dari
zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas,
monofacial,alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang
telah dikerjakan kedua sisinya.
Contoh alat-alat tsb adalah :
Kapak
Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
“Chopper” (alat penetak/pemotong)Dinamakan kapak genggam, karena alat
tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara
mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam terkenal juga
dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan
chopper artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan
cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya
dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam.
Cara menggunakan
chopper adalah jika kita akan memotong kayu yang basah atau tali yang
besar, sementara kita tidak memiliki alat pemotong, maka kita dapat
mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali yang akan dipotong
diletakan pada benda yang keras dan bagian yang kan dipotong dipukul
dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan
kapak penetak atau chopper
Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Fungsi: -untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah
- menangkap ikan
- menangkap ikan
Flakes,
yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon,yang dapat
digunakan untuk mengupas makanan. Fungsi: -untuk menguliti hewan buruan
-mengiris daging buruan
-memotong umbi-umbian, buah-buahan
-menangkap ikan
-mengiris daging buruan
-memotong umbi-umbian, buah-buahan
-menangkap ikan
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan kedalam kebudayaan batu teras maupun golongan flake. Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.. Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih.
Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar,terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan
Zaman batu tua di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan Ngandong dan kebudayaang Pacitan.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang PattaE (Sulawesi Selatan)
Hasil kebudayaan cara hidup pendukung kebudayaan Pacitan
- kapak genggam
- kapak perimbas
- alat serpih
Kebudayaan Ngandong
- kapak genggam
- alat dari tulang dan
- tanduk rusa
- alat serpih(flake)
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang PattaE (Sulawesi Selatan)
Hasil kebudayaan cara hidup pendukung kebudayaan Pacitan
- kapak genggam
- kapak perimbas
- alat serpih
Kebudayaan Ngandong
- kapak genggam
- alat dari tulang dan
- tanduk rusa
- alat serpih(flake)
-
berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering),
berpindah-pindah(nomaden), mengenal api, memelihara hewan
(Phitecanthropus Erectus) hidup di padang rumput.
Manusia pendukung kebudayaan ini adalah :
- Pacitan : Pithecanthropus dan
2. Ngandong : Homo Wajakensis dan Homo soloensis
Pada
Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasil-hasil kebudayaan, juga
ditemukan beberapa peninggalan sebagaimana yang ditemukan di Sangiran
dan Cebbenge, seperti tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang
bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis
manusia.
Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
2. Zaman Batu Besar (Mesolithikum)
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Alat-alat zaman Mesolithikum :
- Kapak genggam (peble)
- Kapak pendek (hache Courte)
- Pipisan (batu-batu penggiling)
- Kapak-kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah.
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya
dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya
adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan
atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter
dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang
pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas
penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman
ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak
genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam
Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Bentuk
pebble dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus.
Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang
dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga
ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran)
yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di
samping kapak-kapak yang ditemukan juga ditemukan pipisan (batu-batu
penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk
menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan
cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah. Kecuali hasil-hasil
kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang
berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun
tulang-tulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap,
tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang
hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.
Abris
Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia
purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan
dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche
dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa
dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.
Alat-alat Kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua-gua yang disebut “Abris Sous Roche” Adapun alat-alat tersebut adalah :
- Flaces (alat serpih) , yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu dan berguna untuk mengupas makanan.
- Ujung mata panah,
- Batu penggilingan (pipisan),
- Kapak,
- Alat-alat dari tulang dan tanduk rusa,
Alat-alat
ini ditemukan di gua lawa Sampung Jawa Timur (Istilahnya: Sampung Bone
Culture = kebudayaan Sampung terbuat dari Tulang).
Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak
adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari
Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak
pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di
Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro
Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini
dilakukan oleh Van Heekeren.
Di
Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di
daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan
flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa
tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada
dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut
kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan
Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM.
Selain
di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di
daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh
Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah
yang terbuat dari batu indah.
Tiga bagian penting Kebudayaan Mesolithikum,yaitu :
- Peble-Culture (alat kebudayaan Kapak genggam) didapatkan di Kjokken Modinger
- Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
- Flakes Culture (kebudayaan alat serpih) didapatkan di Abris sous Roche.
Dengan
adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai
pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan
penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah
teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil
penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek
berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara.
Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam
Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon
(Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes
berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa
dan Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
a.
Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek
serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
b. Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
Untuk
lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka
simaklah gambar 7 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke Indonesia.
Dapat
disimpulkan, membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum lebih
banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan
demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan. Pergantian
zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa
kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke tingkat
yang lebih kompleks.
3. Zaman Batu Muda (Neolithikum).
Hasil
kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini adalah jenis kapak
persegi dan kapak lonjong. Contoh alat tersebut :
- Kapak Persegi, misalnya Beliung, Pacul dan Torah untuk mengerjakan kayu. Ditemukan di Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
- Kapak Bahu, sama seperti kapak persegi ,hanya di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Hanya di temukan di Minahasa.
- Kapak Lonjong, banyak ditemukan di Irian, Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak.
- Perhiasan ( gelang dan kalung dari batu indah), ditemukan di jawa.
- Pakaian (dari kulit kayu).
- Tembikar (periuk belanga), ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Melolo(Sumba).
Gambar. Peninggalan zaman Neolithikum
Asal-usul
penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke
Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas
dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau
trapesium.
Penampang
kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil.
Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai
cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah
dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana
lazimnya pahat.
Bahan
untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari
batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon
hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda
kebesaran.
Gambar. Kapak Chalcedon.
Daerah
asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke Indonesia melalui jalur
barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatera, Jawa,
Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun
kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di Indonesia banyak
ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di Lahat
(Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan
serta lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir
bersamaan dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga
tersebar sejenis kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong
sehingga disebut kapak lonjong.
Gambar. Kapak Lonjong.
Dengan
adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar diatas, bagaimana
menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong tersebut?
Sebagian
besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya
kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat
telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan
ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan
permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran
yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil
dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong
sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah
Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak
lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para
arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan
Neolithikum Papua.
4. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
Megalithikum
atau kebudayaan batu besar sesungguhnya bukanlah mempunyai arti
timbulnya kembali zaman batu sesudah zaman logam, tetapi kebudayaan
megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari
batu besar yang muncul sejak zaman Neolithikum dan berkembang pesat pada
zaman logam.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada uraian materi berikut ini.
1. Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
1. Megalith Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
2. Megalith Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada uraian materi berikut ini.
1. Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.
Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.
Candi
Borobudur di Jawa Tengah adalah bangunan pemujaaan untuk umat Budha,
dan menurut Prof. Dr. Sutjipto Wirgosuparto, arsitektur bangunan
Borobudur merupakan tiruan atau kelanjutan dari punden berundak-undak.
Persamaan antara Borobudur dengan Punden Berundak-undak adalah sama-sama sebagai bangunan suci karena berfungsi untuk tempat pemujaan. Adapun perbedaannya candi Borobudur merupakan bangunan suci umat Budha, dan bentuk bangunannya sempurna dan indah karena penuh dengan relief dan ragam hias. Sedangkan Punden Berundak-undak hanyalah bangunan biasa yang terbuat dari batu yang disusun bertingkat-tingkat tanpa relief ataupun ragam hias dan sebagai tempat memuja arwah nenek moyang yang sudah meninggal.
3. Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur, Merawan, Jember/Jatim, Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Persamaan antara Borobudur dengan Punden Berundak-undak adalah sama-sama sebagai bangunan suci karena berfungsi untuk tempat pemujaan. Adapun perbedaannya candi Borobudur merupakan bangunan suci umat Budha, dan bentuk bangunannya sempurna dan indah karena penuh dengan relief dan ragam hias. Sedangkan Punden Berundak-undak hanyalah bangunan biasa yang terbuat dari batu yang disusun bertingkat-tingkat tanpa relief ataupun ragam hias dan sebagai tempat memuja arwah nenek moyang yang sudah meninggal.
3. Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.
Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur, Merawan, Jember/Jatim, Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari perunggu serta besi.
Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
5. Peti kubur
Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu besar. Kubur batu dibuat dari lempengan/papan batu yang disusun persegi empat berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga berasal dari papan batu.
Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon (Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan besi serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
Perbedaaan Peti Kubur Dengan Sarkofagus, bahwa sarkofagus adalah keranda/peti mayat yang dibuat dari batu yang masih utuh dan batu utuh tersebut dibentuk seperti lesung yang ada tutupnya. Sedangkan peti kubur adalah peti mayat yang dibuat lempengan-lempengan batu/papan-papan batu disusun membentuk kotak batu yang disertai dengan tutupnya,
6. Arca batu
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
.
Penelitian
terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran tinggi Pasemah/Sumatera
Selatan dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine Geldern. Dari
hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu
mempengaruhi Kebudayaan Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan
Megalithikum merupakan cabang dari Kebudayaan Dongson (Perunggu).
Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.
Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut juga membawa nekara kecil pada panggungnya.
2. Zaman Logam
1. ZAMAN LOGAM
Pada
zaman prasejarah, zaman dibedakan berdasarkan alat-alatnya, yaitu,
zaman batu dan logam. Zaman batu yang termuda adalah zaman neolitikum
dan zaman selanjutnya adalah zaman logam. Dengan dimulainya zaman logam,
bukan berati berakhir zaman batu, karena pada zaman logam masih
terdapat alat-alat dan perkakas batu. Nama zaman logam hanya untuk
menyatakan bahwa saat itu logam telah dikenal dan dipergunakan orang
untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Logam
tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu guna mendapat alat
yang dikehendaki. Logam harus dilebur dahulu dari bijinya untuk dapat
dipergunakan. Leburan logam itu yang kemudian dicetak. Tehnik pembuatan
benda-benda dari logam itu dinamakan <>,
dan caranya adalah: benda yang dikehendaki dan dibuat terlebih dahulu
dari lilin, lengkap dengan bagian-bagiannya. Kemudian model dari dari
lilin itu ditutup dengan tanah. Dengan jalan dipanaskan maka selubung
tanah ini menjadi keras, sedangkan lilinnya menjadi cair dan mengalir ke
luar lubang yang telah disediakan di dalam selubung itu. Jika telah
habis lilinnya, dituangkan logam cair ke dalam geronggang tempat lilin
tadi. Dengan demikian logam itu menggantikan model lilin tadi. Setelah
dingin semuanya, selubung tanahnya dipecah, dan keluarlah benda yang
dikehendaki itu, bukan dari lilin melainkan logam.
Dari
zaman-zaman prasejara, dapat ketahui bahwa zaman logam dibagi lagi atas
zaman tembaga, perunggu dan besi. Asia Tenggara tidak mengenal zaman
tembaga. Setelah neolitikum langsung ke zaman perunggu dan berlanjut ke
zaman besi. Di Indonesia zaman logam pun sulit untuk dibago ke dalam
zaman perunggu atau besi. Bisa dikatakan bahwa zama logam di Indonesia
hanya zama perunggu, karena alat-alat perkakas besi tidak banyak bedanya
dengan alat-alat zaman perunggu.
2. Zaman Perunggu
Zaman Perunggu adalah masalah dalam perkembangan sebuahperadaban ketika kerajinan logam yang paling maju telah mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman Perunggu adalah bagian dari sistem tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah Zaman Neolitikum di beberapa wilayan di dunia. Di sebagian besar Afrikasubsahara, Zaman Neolitikum langsung diikuti Zaman Besi.
Zaman perunggu
berlangsung kurang lebih 500 tahun SM. Teknik pembuatannya adalah a cire
perdue (cetak hilang, hanya sesekali untuk mencetak). Contoh di Bali
ditemukan cetak nekara dari batu. Yang dicetak dengan cetakan batu
adalah nekara lilin, sedangkan nekara perunggunya dicetak dengan a cire perdue.
Di jaman sekarang orang membuat cetakan yang dapat dipakai berkali-kali
disebut bivalve (dua setangkup). Perunggu merupakan campuran timah
putih dan tembaga.
Pada zaman perunggu
atau yang disebut juga dengan kebudayaan Dongson-Tonkin Cina (pusat
kebudayaan)ini manusia purba sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain :
a. Kapak Corong
(Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan di Sumatera
Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian
b. Nekara Perunggu
(Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin. Ditemukan di
Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti
c. Benjana Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
d. Arca Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan Bogor (Jawa Barat.
A. Kapak Corong
Pada
zaman kebudayaan di Eropa, menghasilkan kapak-kapak tembaga yang masih
menyerupai kapak batu. Bentuk dan wujud dari kapak tembaga itu tidak
berbeda dari dari kapak batu, bahkan sering terdapat tanda bahwa sengaja
tembaga itu menyerupai bentuk batu.
Di
Indonesia, kapak logam yang ditemukan adalah kapak perunggu yang sudah
menyerupai bentuk tersendiri. Kapak ini biasanya dinamakan”kapak
sepatu”, maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang
sembirnya belah, sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai
kayunya yang menyiku kepada bidang kapak. Jadi, seolah-olah kapak
disamakan dengan sepatu dan tangkainya dengan kaki orang. Lebih tepat
kapak ini dinamakan kapak corong.
Kapak
corong banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi
Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat danau Sentani.
Berbagai jenis ditemukan, ada yang kecil bersahaja, ada yang besar dan
memakai hiasan; ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada pula yang
panjang satu sisi. Yang panjang satu sisi disebut Cendrasa. Tidak semua
kapak itu dipergunakan sebagai kapak. Misalnya, yang kecil adalah
tugal, sedangkan yang sangat indah dan juga cendrasa tidak dapat
digunakan sebagai perkakas dan hanya dipakai sebagai tanda kebesaran dan
alat upacara saja.
Cara
pembuatan kapak-kapak corong itu menunjukkan adanya tehnik a cire
perdue. Di dekat Bandung ditemukan cetakan dari tanah bakar untuk
menuang kapak corong. Berdasarkan penyelidikan, menyatakan bahwa yang
dicetak bukan logamnya, melainkan kapak yang dibuat dari lilin, ialah
kapak yang menjadi kodel dari kapak loamnya. Cetakan-cetakan itu
membutikan bahwa kapak-kapak perunggu bukan barang luar negeri saja,
melainkan negeri Indonesia pun mengenalnya.
B. Nekara
Nekara
adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian
tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Nekara yang ditemukan di Indonesia
hanya beberapa yang utuh. Bahkan ada yang berupa pecahan-pecahan saja.
Nekara itu ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat
Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di Kepulauan Kei. Di Alor banyak pula
tedapat nekara, tetapi lebih kecil dan ramping daripada yang ditemukan
di lain-lain tempat. Nekara yang demikian itu disebut moko. Dari
hias-hiasannya dapat diketahui bahwa moko itu tidak semunya berasal dari
zaman perunggu. Ada diantaranya yang berasal darizaman majapahit,
bahkan ada yang dibuat dari zaman mutakhir abad 19, dengan memakai
hiasan lencana Inggris. Sampai kini moko sangat dihargai penduduk dan
hanya disimpan saja sebagai pusaka dan ada dipergunakan sebagai
maskawin.
Di
Bali terdapat nekara yang besar sekali. Sampai kini yang terbesar dan
masih utuh tingginya 1,86 meter dan garis tengahnya 1, 60 meter. Nekara
itu dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Tidak hanya di Bali, di
tempat lain nekara pun dianggap barang suci. Penyelidikan menunjukan
bahwa nekara ini memang hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja.
Hiasan-hiasan
itu sangat luar biasa pentingnya untuk sejarah kebudayaan, oleh karena
dari berbagai lukisan itu, kita dapat gambaran tentang kehidupan dan
kebudayaan yang ada pada saat itu. Dari hiasan-hiasan itu nampak dengan
nyata, bahwa kebudayaan perunggu Indonesia tidak berdiri sendiri,
melainkan hanya merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan yang lebih
luas yang meliputi seluruh Asia Tenggara.
Pada
nekara dari Sangean ada ganbar orang menunggang kuda beserta dengan
pengiringnya, keduanya memakai pakaian Tatar. Gambar-gambar orang
Tatar itu memberi petunjuk akan adanya hubungan dengan daerah Tiongkok.
Pengaruh dari zaman itu masih nyata pada seni hias suku bangsa Dayak
dan Ngada(Flores).
Nekara
dari Sangean dan kepulauan Kei dihiasi gambar-gambar gajah, merak dan
harimau, semuanya bukan bintang dari bagian timur. Maka dapat
disimpulkan bahwa nekara-nekara itu dari lain tempat asalnya, ialah
bagian dari barat Indonesia dan benua Asia. Jelas bahwa persebaran
nekara-nekara di Indonesia dari barat ke timur jalannya.
Dapat
dikatakan bahwa tidak semua nekara berasal dari luar Indonesia. Ada
pula buatan dalam negeri. Di desa Manuaba(Bali) ditemukan sebagian dari
cetakan batu untuk membuat nekara, kini disimpan dan dipuja di sebuah
pura di desa tersebut. Batu cetakan itu diukir oleh hiasan-hiasan yang
biasa terdapat pada nekara, terutama sebagian dari hiasan-hiasan nekara
pajeng. Adanya batu cetakan nekara itu memberi kesan bahwa, nekara itu
pembuatannya dengan cara menuangkan cairan perunggu ke dalam cetakan
tadi. Akan tetapi banyak ahli berpendapat bahwa yang dicetak dengan
cetakan batu itu hanyalah nekara lilinnya saja, sedangkan nekara
perunggu dibuat dengan cara a cire perdue.
C. Benda-benda lainnya
Selain
kapak corong dan nekara, banyak benda-benda lain yang didapatkan dari
zaman perunggu, sebagian besar berupa perhiasan seperi: gelang, binggel
(gelang kaki), anting-anting, kalung dan cincin. Ada cincin yang sangat
kecil. Yang tidak dapat dimasukkan jari anak-anak, ini dapat digunakan
sebagai alat penukaran uang.
Seni
menuang patung juga sudah ada. Dengan adanya beberapa buah patung, di
antaranya arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi berupa
kerbau. Ada juga beberapa patung kecil kepala binatang dengan badan yang
serupa pembuluh; pada bagian atas badannya ditempel semacam cincin,
sehingga benda itu dapat digantung, ini dapat digantung sebagai
liontin(perhiasan yang menggantung pada kalung).
Dari
daerah tepi danau Kerinci dan dari pulau madura ditemukan bejana
perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng.
Kueduanya mempunyai hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa
gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf j. Di samping
itu pada bejana dari Madura nampak pula gambar-gambar merak dan rusa
dalam kotak-kotak segitiga.
Selain
benda-benda perunggu ada lagi benda yang bukan dari perunggu tetapi ada
pada zaman perunggu asalnya, yaitu manik-manik dari kaca. Terdapat pada
kuburan-kuburan, jumlahnya sangat besar, sehingga memberi corak
istimewa pada zaman perunggu itu. Manik itu sebagai nekara kecil dan
mata uang, dibawa kepada orang yang telah meninggal sebagai bekal ke
akhirat. Dapat dikatakan bahwa pada zaman perunggu, orang telah pandai
membuat dan menuang kaca. Hanya tehniknya saja yang masih sederhana,
karena hasilnya yang kebanyakan agak kasar dan kadang-kadang masih
bercampur pasir(pasir adalah bahan membuat kaca).
Manik-manik
itu ada yang besar dan ada yang kecil. Bentuknya pun bermacam-macam,
begitu pula warnanya:kuning, merah, biru, hijau, dan putih. Banyak pula
yang berwarna banyak, hasil pencampuran berbagai lapis kaca dengan warna
yang berlainan. Manik-manik itu dibuat dan dipakai sampai zaman
sejarah. Sampai kini banyak orang dan suku bangsa di Indonesia yang
sangat menyukai dan menghargai barang itu, sehingga menjadi barang
perdagangan, misalnya di Kalimantan, Timor dan Irian.
1. Zaman Besi
Dalam
arkeologi, Zaman Besi adalah suatu tahap perkembangan budaya manusia di
mana penggunaan besi untuk pembuatan alat dan senjata sangat dominan.
Penggunaan bahan baru ini, di dalam suatu masyarakat sering kali
mencakup perubahan praktik pertanian, kepercayaan agama, dan gaya seni,
walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Zaman
Besi adalah periode utama terakhir dalam sistem tiga zaman untuk
mengklasifikasi masyarakat prasejarah, yang didahului oleh Zaman
Perunggu. Waktu berlangsung dan konteks zaman ini berbeda, tergantung
pada negara atau wilayah geografis. Secara klasik, Zaman Besi dianggap
dimulai pada Zaman Kegelapan Yunani pada abad ke-12 SM dan Timur Tengah
Kuno, abad ke-11 SM di India, dan antara abad ke-8 SM (Eropa Tengah) dan
abad ke-6 SM (Eropa Utara) di Eropa. Zaman Besi dianggap berakhir
dengan kebangkitan kebudayaan Hellenisme dan Kekaisaran Romawi, atau
Zaman Pertengahan Awal untuk kasus Eropa Utara.
Zaman
Besi berhubungan dengan suatu tahap di mana produksi besi adalah salah
satu bentuk paling rumit dari kerajinan logam. Kekerasan besi, titik
lebur yang tinggi, dan sumber bijih besi yang melimpah, membuat besi
lebih dipilih dan murah dari pada perunggu, yang memengaruhi dipilihnya
besi sebagai logam yang paling umum digunakan. Karena kerajinan besi
diperkenalkan secara langsung ke Amerika dan Australasia oleh kolonisasi
Eropa, daerah-daerah tersebut tidak pernah mengalami Zaman Besi.
Pada
zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang
menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit
dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi
membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Pada
masa ini manusia telah dapat melebur besi untuk dituang menjadi
alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di Indonesia tidak banyak
ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah :
· Mata kapak, yang dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu
· Mata Sabit, digunakan untuk menyabit tumbuh-tumbuhan
· Mata pisau
· Mata pedang
· Cangkul, dll
Jenis-jenis benda tersebut banyak ditemukan di Gunung Kidul(Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur)
2. Zaman Tembaga
Orang
menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya
dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak dikenal istilah zaman tembaga.
3. Kebudayaan Dongson
Kebudayaan
Đông sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah
sông hồng,vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di asia tenggara,
termasuk di nusantara dari sekitar 1000 sm sampai 1 sm. Kebudayaan
dongson mulai berkembang di indochina pada masa peralihan dari periode
mesolitik dan neolitik yang kemudian periode megalitik. Pengaruh
kebudayaan dongson ini juga berkembang menuju nusantara yang kemudian
dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu.
Asal
mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan austronesia . Asal
usulnya sendiri telah dicari dari barat dan bahkan ada yang berpendapat
bahwa kelompok itu sampai di dongson melalui asia tengah yang tidak lain
adalah bangsa yue-tche .namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat
yang mengaitkan dongson dengan kebudayaan halstatt yang ternyata masih
diragukan kebenarannya.
Asumsi
yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan dengan
benda-benda yang ditemukan di dongson. Meski harus dibuktikan apakah
benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari barat sehingga
dari periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah
model untuk dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini
benar maka dapat menjelaskan penyebaran kebudayaan dongson sampai ke
dataran tinggi burma.
Benda-benda
arkeologi dari dongson sangat beraneka ragam, dari berbagai aliran.
Terlihat dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan
bersifat ritual yang sangat rumit. Perunggu adalah bahan pilihan.
Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati,
mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang indah. Kemudian
gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal
benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang,
manik-manik dari kaca dan lain-lain. Karya yang terkenal adalah nekara
besar diantaranya nekara ngoc-lu yang kini disimpan di museum hanoi,
serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada
tahapan terakhir masa dongson.
Contoh karya yang terkenal
Tombak Dong son
Kebudayaan
Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan
karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di
bagian selatan*Semenanjung Indochina*(Samrong,*Battambang*di*Kamboja)
hingga Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di
Selangor) hingga Nusantara (Indonesia).
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kebudayaan
dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan,
kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui
kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui.
Dengan
demikian dari hasil-hasil kebudayaan material dapat dikaji dan
dipelajari corak kehidupan masyarakat prasejarah Indonesia. Berdasarkan
hasil-hasil kebudayaan yang ditinggalkan oleh masyarakat di kepulauan
Nusantara sebelum mengenal tulisan, maka kehidupan masyarakat paling
awal di Indonesia oleh para ahli di bagi menjadi dua zaman. Dua zaman
tersebut yaitu:
A. Zaman Batu
• Zaman batu tua ( Paleolithikum)
• Zaman batu madya (Mesolithikum)
• Zaman batu muda ( Neolithikum)
• Zaman batu besar ( Megalithikum)
B. Zaman Logam
• Zaman tembaga
• Zaman perunggu
• Zaman besi
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak mengenal zaman tembaga. Demikian juga peninggalan zaman besi jumlahnya juga sangat sedikit dan waktunya bersamaan dengan zaman perunggu sehingga di Indonesia hanya mengenal zaman perunggu saja
2. SARAN
Peninggalan
sejarah dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk artefak maupun
kebudayaan hendaknyalah dilestarikan dan dijaga jke asliannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar